Premanisme Pers
Keluhan dari masyarakat akhir-akhir ini, pers cenderung melakukan praktek premanisme pers. Padahal yang selama ini terjadi adalah masyarakat atau kelompok yang main hakim sendiri melalui cara-cara kekerasan dan tindakan fisik serta demonstrasi ke kantor-kantor media massa.
Permanisme pers yaitu cara-cara pemberitaan yang memojokkan dan menyudutkan sehingga merugikan pihak-pihak yang ada dalam kelompok masyarakat. Antara lain pers akhir-akhir ini sering mempraktekan apa yang dikatakan ‘pukul dulu urusan belakangan’. Jadi diberitakan dulu, kalau ada protes urusan belakangan dengan berdalih telah melakukan cover bothside yaitu wartawan telah mencoba menghubungi pihak-pihak atau sumber informasi tetapi tidak bertemu langsung, orangnya tidak ditempat, telepon tidak dijawab dan lain-lain.
Seharusnya bila sumber informasi tidak dapat dihubungi atau belum memberikan konfirmasi harus diupayakan mengumpulkan keterangan-keterangan dari sumber-sumber lain. Sedemikian rupa sehingga informasi yang diperoleh menjadi lebih lengkap dan utuh baru disiarkan.
Seperti kasus Letnan Jenderal Djadja Suparman, beliau merasakan pers tidak berupaya menghubungi untuk meminta konfirmasi atas issu yang mengatakan sewaktu terjadi peristiwa bom Bali Dia berada di Bali padahal tidak dengan memberikan bukti-bukti yang ada.
Sebaiknya wartawan berupaya mencari bukti apakah benar Djadja Suparman berada di Bali sewaktu peristiwa itu terjadi, misalnya mencari bukti tiket pesawat atau bill hotel. Jadi tidak menelan mentah-mentah informasi dari sumber yang anonim mengatakan ‘ada dua Jenderal yaitu Jenderal TNI Angkatan Darat dan Jenderal Polisi ada di Bali dan di kaitkan mereka berada dibelakang peristiwa bom Bali’.
Hal ini memojokkan Djadja Suparman dan harus menerima kenyataan mertuanya meninggal karena shock mendengar berita itu dan setelah 40 hari pemberitaan itu ayah kandungnya juga meninggal.
Sebaiknya pers jangan sampai terjebak kepada skenario atau konspirasi politik dari pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan atau merugikan pihak lain.
Dalam iklim kemerdekaan pers yang sangat liberal saat ini penaatan terhadap KEJ itu merupakan hal yang mendasar dan pokok. Karena itu Kode Etik Jurnalistik bukan “kartu mati” melainkan “harga mati”, dalam arti harus ditaati kalau mau menjalankan tugas-tugas jurnalistik secara baik demikian Sekretaris Dewan Kehormatan PWI, R.H. Siregar, SH ***
Permanisme pers yaitu cara-cara pemberitaan yang memojokkan dan menyudutkan sehingga merugikan pihak-pihak yang ada dalam kelompok masyarakat. Antara lain pers akhir-akhir ini sering mempraktekan apa yang dikatakan ‘pukul dulu urusan belakangan’. Jadi diberitakan dulu, kalau ada protes urusan belakangan dengan berdalih telah melakukan cover bothside yaitu wartawan telah mencoba menghubungi pihak-pihak atau sumber informasi tetapi tidak bertemu langsung, orangnya tidak ditempat, telepon tidak dijawab dan lain-lain.
Seharusnya bila sumber informasi tidak dapat dihubungi atau belum memberikan konfirmasi harus diupayakan mengumpulkan keterangan-keterangan dari sumber-sumber lain. Sedemikian rupa sehingga informasi yang diperoleh menjadi lebih lengkap dan utuh baru disiarkan.
Seperti kasus Letnan Jenderal Djadja Suparman, beliau merasakan pers tidak berupaya menghubungi untuk meminta konfirmasi atas issu yang mengatakan sewaktu terjadi peristiwa bom Bali Dia berada di Bali padahal tidak dengan memberikan bukti-bukti yang ada.
Sebaiknya wartawan berupaya mencari bukti apakah benar Djadja Suparman berada di Bali sewaktu peristiwa itu terjadi, misalnya mencari bukti tiket pesawat atau bill hotel. Jadi tidak menelan mentah-mentah informasi dari sumber yang anonim mengatakan ‘ada dua Jenderal yaitu Jenderal TNI Angkatan Darat dan Jenderal Polisi ada di Bali dan di kaitkan mereka berada dibelakang peristiwa bom Bali’.
Hal ini memojokkan Djadja Suparman dan harus menerima kenyataan mertuanya meninggal karena shock mendengar berita itu dan setelah 40 hari pemberitaan itu ayah kandungnya juga meninggal.
Sebaiknya pers jangan sampai terjebak kepada skenario atau konspirasi politik dari pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan atau merugikan pihak lain.
Dalam iklim kemerdekaan pers yang sangat liberal saat ini penaatan terhadap KEJ itu merupakan hal yang mendasar dan pokok. Karena itu Kode Etik Jurnalistik bukan “kartu mati” melainkan “harga mati”, dalam arti harus ditaati kalau mau menjalankan tugas-tugas jurnalistik secara baik demikian Sekretaris Dewan Kehormatan PWI, R.H. Siregar, SH ***
0 komentar:
Posting Komentar