Yurisprudensi "Hak Jawab"
Masih banyak dari anggota masyarakat yang belum mengetahui mekanisme yang dapat ditempuh apabila ada berita atau tulisan yang dinilai merugikan atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya. Karena itu, kalau ada berita atau tulisan yang dinilai tidak benar, ada kecenderungan akhir-akhir ini mengajukan somasi. Padahal ketentuan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) memberi hak kepada masyarakat untuk meluruskannya melalui "hak jawab". UU No. 40 tentang Pers juga telah mengakui "hak jawab" tersebut. Bahkan sudah ada yurisprudensi mengenai hal itu. Tadinya, "hak jawab" merupakan ketentuan normatif termaktub dalam KEJ-PWI. Seperti diketahui, "hak jawab" adalah hak perorangan, badan hukum dan organisasi untuk meluruskan berita atau tulisan yang dianggap merugikan atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya.
Sebagai ketentuan normatif, maka sanksi atas pelanggarannya pun bersifat moral. Tapi kemudian pembentuk undang-undang (UU) mengangkat ketentuan normatif tadi menjadi ketentuan hukum positif tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi, "Pers wajib melayani Hak Jawab". Dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 ditetapkan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan "hak jawab" dikenakan pidana denda maksimal Rp. 500 juta. Konsekuensi dimasukkannya ketentuan normatif menjadi ketentuan hukum positif, maka yang tadinya sanksinya bersifat moral, kini menjadi bersifat hukum bahkan sanksi pidana lagi sekalipun berupa denda yang jumlahnya tidak sedikit. Karena itulah pers sebenarnya menolak pemberlakuan ketentuan normatif menjadi ketentuan hukum positif seperti halnya "hak jawab" tadi. Apalagi mengingat sanksi pidananya yang begitu berat apabila "hak jawab" tidak dilaksanakan, tapi sebaliknya kalau "hak jawab" telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, UU tidak memberi imbalan atau kompensasi apa pun kepada pengelola media, misalnya menetapkan suatu klausul yang mengatakan: "tertutup kemungkinan mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan". Untunglah sudah ada yurisprudensi mengenai "hak jawab" ini. Yaitu melalui putusan Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung terdiri dari M. Yahya Harahap,SH (Ketua) dengan Hakim Anggota H. Yahya,SH dan Kohar Hari Soemarmo, SH dalam perkara No. 3173.K/Pdt/1991, pada tanggal 28 April 1993. Perkara itu berawal dari Harian Garuda, Medan, Sumatra Utara, edisi 14 November 1989 memuat berita berjudul "Buat Masalah". Isinya antara lain bahwa PT Anugerah, perusahaan pemborong terkenal di kota itu, dalam operasinya melakukan penyimpangan yang merugikan rakyat, seperti penggusuran/pemindahan sekolah, SMA, Stasiun Kereta Api, dan kini merambah pula ke Langkat......, masyarakat mengirim delegasi ke DPRD Sumatra Utara mengenai penggusuran tanahnya dst. Atas berita itu, PT. Anugerah mengadukan Harian Garuda ke Pengadilan Negeri Medan, melanggar Pasal 1365 KUHPerdata, melakukan perbuatan melawan hukum dengan ganti rugi Rp. 5 miliar. Atas gugatan itu, Pengadilan Negeri Medan menghukum Harian Garuda membayar ganti rugi Rp. 50 juta. Atas putusan itu, Harian Garuda naik banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Ternyata Pengadilan Tinggi Medan mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Medan. Namun Harian Garuda tidak putus asa, dan naik kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam mahkamah kasasi dengan Majelis Hakim Agung seperti disebut di atas, pada tanggal 28 April 1993 diputuskan membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) dan menolak gugatan penggugat seluruhnya. Dalam pertimbangan hukumnya, antara lain Majelis Hakim Agung mengatakan, apabila berita Harian Garuda tersebut tidak benar, maka Penggugat dapat menggunakan "hak jawab". Namun ternyata hak itu tidak dipergunakan oleh Penggugat, sehingga perbuatan Penggugat tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh Tergugat dalam Harian Garuda tersebut adalah mengandung kebenaran atau paling tidak mengandung nilai estimasi. Dengan putusan Mahkamah Agung ini, maka keberadaan dan atau penggunaan "hak jawab" menjadi sangat penting. Hal itu antara lain terbukti dari beberapa putusan pengadilan yang dalam pertimbangan hukumnya juga mencantumkan perlunya terlebih dahulu melaksanakan "hak jawab" apabila sebuah berita atau tulisan dianggap merugikan. Nilai advokasi? Bagi masyarakat, apabila ada berita atau tulisan yang dianggap merugikan atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya, seharusnya ditempuh proses "hak jawab" dengan menyampaikan secara tertulis langsung kepada Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab media bersangkutan, untuk meluruskan berita yang dianggap merugikan tadi. Jadi tidak perlu menempuh somasi. Sebab somasi adalah mekanisme yang lazim berlaku dalam dunia hukum. Sedang mekanisme yang berlaku dalam dunia pers adalah melalui "hak jawab". Sedang bagi pengelola media, pelaksanaan "hak jawab" sekaligus membuktikan tidak adanya unsur dengan sengaja atau opzet untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain. Sebab ada tidaknya unsur dengan sengaja atau opzet tadi sangat menentukan bagi hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Dengan kata lain, apabila terbukti di sidang pengadilan tidak ada unsur dengan sangaja atau opzet untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain, maka tersangka atau tergugat akan dibebaskan.***
Sebagai ketentuan normatif, maka sanksi atas pelanggarannya pun bersifat moral. Tapi kemudian pembentuk undang-undang (UU) mengangkat ketentuan normatif tadi menjadi ketentuan hukum positif tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi, "Pers wajib melayani Hak Jawab". Dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 ditetapkan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan "hak jawab" dikenakan pidana denda maksimal Rp. 500 juta. Konsekuensi dimasukkannya ketentuan normatif menjadi ketentuan hukum positif, maka yang tadinya sanksinya bersifat moral, kini menjadi bersifat hukum bahkan sanksi pidana lagi sekalipun berupa denda yang jumlahnya tidak sedikit. Karena itulah pers sebenarnya menolak pemberlakuan ketentuan normatif menjadi ketentuan hukum positif seperti halnya "hak jawab" tadi. Apalagi mengingat sanksi pidananya yang begitu berat apabila "hak jawab" tidak dilaksanakan, tapi sebaliknya kalau "hak jawab" telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, UU tidak memberi imbalan atau kompensasi apa pun kepada pengelola media, misalnya menetapkan suatu klausul yang mengatakan: "tertutup kemungkinan mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan". Untunglah sudah ada yurisprudensi mengenai "hak jawab" ini. Yaitu melalui putusan Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung terdiri dari M. Yahya Harahap,SH (Ketua) dengan Hakim Anggota H. Yahya,SH dan Kohar Hari Soemarmo, SH dalam perkara No. 3173.K/Pdt/1991, pada tanggal 28 April 1993. Perkara itu berawal dari Harian Garuda, Medan, Sumatra Utara, edisi 14 November 1989 memuat berita berjudul "Buat Masalah". Isinya antara lain bahwa PT Anugerah, perusahaan pemborong terkenal di kota itu, dalam operasinya melakukan penyimpangan yang merugikan rakyat, seperti penggusuran/pemindahan sekolah, SMA, Stasiun Kereta Api, dan kini merambah pula ke Langkat......, masyarakat mengirim delegasi ke DPRD Sumatra Utara mengenai penggusuran tanahnya dst. Atas berita itu, PT. Anugerah mengadukan Harian Garuda ke Pengadilan Negeri Medan, melanggar Pasal 1365 KUHPerdata, melakukan perbuatan melawan hukum dengan ganti rugi Rp. 5 miliar. Atas gugatan itu, Pengadilan Negeri Medan menghukum Harian Garuda membayar ganti rugi Rp. 50 juta. Atas putusan itu, Harian Garuda naik banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Ternyata Pengadilan Tinggi Medan mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Medan. Namun Harian Garuda tidak putus asa, dan naik kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam mahkamah kasasi dengan Majelis Hakim Agung seperti disebut di atas, pada tanggal 28 April 1993 diputuskan membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) dan menolak gugatan penggugat seluruhnya. Dalam pertimbangan hukumnya, antara lain Majelis Hakim Agung mengatakan, apabila berita Harian Garuda tersebut tidak benar, maka Penggugat dapat menggunakan "hak jawab". Namun ternyata hak itu tidak dipergunakan oleh Penggugat, sehingga perbuatan Penggugat tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh Tergugat dalam Harian Garuda tersebut adalah mengandung kebenaran atau paling tidak mengandung nilai estimasi. Dengan putusan Mahkamah Agung ini, maka keberadaan dan atau penggunaan "hak jawab" menjadi sangat penting. Hal itu antara lain terbukti dari beberapa putusan pengadilan yang dalam pertimbangan hukumnya juga mencantumkan perlunya terlebih dahulu melaksanakan "hak jawab" apabila sebuah berita atau tulisan dianggap merugikan. Nilai advokasi? Bagi masyarakat, apabila ada berita atau tulisan yang dianggap merugikan atau tidak berdasarkan fakta sebenarnya, seharusnya ditempuh proses "hak jawab" dengan menyampaikan secara tertulis langsung kepada Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab media bersangkutan, untuk meluruskan berita yang dianggap merugikan tadi. Jadi tidak perlu menempuh somasi. Sebab somasi adalah mekanisme yang lazim berlaku dalam dunia hukum. Sedang mekanisme yang berlaku dalam dunia pers adalah melalui "hak jawab". Sedang bagi pengelola media, pelaksanaan "hak jawab" sekaligus membuktikan tidak adanya unsur dengan sengaja atau opzet untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain. Sebab ada tidaknya unsur dengan sengaja atau opzet tadi sangat menentukan bagi hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Dengan kata lain, apabila terbukti di sidang pengadilan tidak ada unsur dengan sangaja atau opzet untuk memfitnah, menghina, mencemarkan nama baik dan lain-lain, maka tersangka atau tergugat akan dibebaskan.***
0 komentar:
Posting Komentar